Kamis, 06 Maret 2014

Sebuah tamparan hebat di pipi mama menyebabkan mama tersungkur dengan mulut robek dan berdarah, “MA… MA MA.. MA” Aku berlari dan berteriak memanggil mama, darah di mulut mengalir, aku berlari mengambil kampas mencoba membersihan darah mama. Sebelum selasai aku membersihkan luka di mulutnya, mama sudah menyeret kopernya dan menghilang di gelap malam, aku sudah berusaha tapi tak ada hasil, “maafkan mama yuni, mama sudah tidak tahan dengan keadaan rumah ini” sebuah kata yang srlalu terngiang di kupingku setiap malam, seperti mimpi buruk bagiku, karena ke esokan harinya, saat aku ingin berangkat sekolah aku hanya, menikmati sepotong roti dengan selai, “kenapa tidak makan dulu yuni, roti itu tak akan membuatmu kenyang” aku tidak menghiraukan kata-kata papa, aku berlalu, di depan pintu. “took.. took.. took.” aku membuka pintu “Maaf apa betul, ini rumah bapak alfred?” apa bapak mengenal wanita dalam foto ini?” Dua polisi dengan seragam lengkap menunjukan sebuah foto’ aku hanya mengganguk melihat papa yang sedang menikmati kopi. papa menghampiri kedua polisi. “Maaf pak, kami mohon bapak ikut dengan kami ke rumah sakit” Di rumah sakit, sebuah tubuh tergeletak di tempat tidur tak bernyawa, luka di sekujur tubuh dengan kepala retak. “maaf apa ini dengan bapak Alfred suami dari. bu mayang, maaf pak kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan nyawa istri anda” Seorang bapak berpakaian putih, berlalu meninggalkan papa dan aku di ruangan Aku menangis histeris, menggema di seluruh koridor rumah sakit, aku tertunduk lesu, seperti dunia runtuh di atas kepalaku. dan lagi ini benar mimpi buruk.. sangat buruk sekali. papa terhempas lesuh di pojokan, menatap. menepuk dan menangis, mungkin ia berharap pada keajaiban “JANGAN MENYENTUH MAMA! PAPA JAAHAAAT!” aku menatap papa dan berlari menyusuri jalan. Hilir mudik kendaraan dan klakson mobil tak mampu mengalihkanku.. aku berlari entah kemana, “tuhan mengapa secepat ini kau ambil mama, mengapa tidak kau cabut saja tubuhku sekarang” aku berkali-kali menyalahkan tuhan. Aku berhenti di sebuah gereja, aku memasuki ruangan-ruangan, di seluruh koridor tampak pohon natal berkelap kelip, di depanku sebuah kayu salib mengganntung, seorang kakek yang mungkin saja pendeta duduk terdiam di sebuah kursi. Aku duduk pada sebuah kursi dari kayu, melipat tangan erat, keringat dan air mataku membasahi seluruh tubuhku, aku menutup mata “tuhan ini bukan bertama kali aku bersedih, sekarang mamaku pergi entah kemana, aku masih butuh cintanya yang kuat membimbingku di kehidupan, sebuah kecupan hangat di keningku kala aku ingin terlelap. di sini dingin sekali tuhan, di mana jiwa mamaku berada jagalah selalu.”


Sebuah tamparan hebat di pipi mama menyebabkan mama tersungkur dengan mulut robek dan berdarah, “MA… MA MA.. MA” Aku berlari dan berteriak memanggil mama, darah di mulut mengalir, aku berlari mengambil kampas mencoba membersihan darah mama. Sebelum selasai aku membersihkan luka di mulutnya, mama sudah menyeret kopernya dan menghilang di gelap malam, aku sudah berusaha tapi tak ada hasil, “maafkan mama yuni, mama sudah tidak tahan dengan keadaan rumah ini” sebuah kata yang srlalu terngiang di kupingku setiap malam, seperti mimpi buruk bagiku, karena ke esokan harinya, saat aku ingin berangkat sekolah aku hanya, menikmati sepotong roti dengan selai, “kenapa tidak makan dulu yuni, roti itu tak akan membuatmu kenyang” aku tidak menghiraukan kata-kata papa, aku berlalu, di depan pintu. “took.. took.. took.” aku membuka pintu “Maaf apa betul, ini rumah bapak alfred?” apa bapak mengenal wanita dalam foto ini?” Dua polisi dengan seragam lengkap menunjukan sebuah foto’ aku hanya mengganguk melihat papa yang sedang menikmati kopi. papa menghampiri kedua polisi. “Maaf pak, kami mohon bapak ikut dengan kami ke rumah sakit” Di rumah sakit, sebuah tubuh tergeletak di tempat tidur tak bernyawa, luka di sekujur tubuh dengan kepala retak. “maaf apa ini dengan bapak Alfred suami dari. bu mayang, maaf pak kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan nyawa istri anda” Seorang bapak berpakaian putih, berlalu meninggalkan papa dan aku di ruangan Aku menangis histeris, menggema di seluruh koridor rumah sakit, aku tertunduk lesu, seperti dunia runtuh di atas kepalaku. dan lagi ini benar mimpi buruk.. sangat buruk sekali. papa terhempas lesuh di pojokan, menatap. menepuk dan menangis, mungkin ia berharap pada keajaiban “JANGAN MENYENTUH MAMA! PAPA JAAHAAAT!” aku menatap papa dan berlari menyusuri jalan. Hilir mudik kendaraan dan klakson mobil tak mampu mengalihkanku.. aku berlari entah kemana, “tuhan mengapa secepat ini kau ambil mama, mengapa tidak kau cabut saja tubuhku sekarang” aku berkali-kali menyalahkan tuhan. Aku berhenti di sebuah gereja, aku memasuki ruangan-ruangan, di seluruh koridor tampak pohon natal berkelap kelip, di depanku sebuah kayu salib mengganntung, seorang kakek yang mungkin saja pendeta duduk terdiam di sebuah kursi. Aku duduk pada sebuah kursi dari kayu, melipat tangan erat, keringat dan air mataku membasahi seluruh tubuhku, aku menutup mata “tuhan ini bukan bertama kali aku bersedih, sekarang mamaku pergi entah kemana, aku masih butuh cintanya yang kuat membimbingku di kehidupan, sebuah kecupan hangat di keningku kala aku ingin terlelap. di sini dingin sekali tuhan, di mana jiwa mamaku berada jagalah selalu.”


Jumat, 21 Februari 2014

Sebuah tamparan hebat di pipi mama menyebabkan mama tersungkur dengan mulut robek dan berdarah, “MA… MA MA.. MA” Aku berlari dan berteriak memanggil mama, darah di mulut mengalir, aku berlari mengambil kampas mencoba membersihan darah mama. Sebelum selasai aku membersihkan luka di mulutnya, mama sudah menyeret kopernya dan menghilang di gelap malam, aku sudah berusaha tapi tak ada hasil, “maafkan mama yuni, mama sudah tidak tahan dengan keadaan rumah ini” sebuah kata yang srlalu terngiang di kupingku setiap malam, seperti mimpi buruk bagiku, karena ke esokan harinya, saat aku ingin berangkat sekolah aku hanya, menikmati sepotong roti dengan selai, “kenapa tidak makan dulu yuni, roti itu tak akan membuatmu kenyang” aku tidak menghiraukan kata-kata papa, aku berlalu, di depan pintu. “took.. took.. took.” aku membuka pintu “Maaf apa betul, ini rumah bapak alfred?” apa bapak mengenal wanita dalam foto ini?” Dua polisi dengan seragam lengkap menunjukan sebuah foto’ aku hanya mengganguk melihat papa yang sedang menikmati kopi. papa menghampiri kedua polisi. “Maaf pak, kami mohon bapak ikut dengan kami ke rumah sakit” Di rumah sakit, sebuah tubuh tergeletak di tempat tidur tak bernyawa, luka di sekujur tubuh dengan kepala retak. “maaf apa ini dengan bapak Alfred suami dari. bu mayang, maaf pak kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan nyawa istri anda” Seorang bapak berpakaian putih, berlalu meninggalkan papa dan aku di ruangan Aku menangis histeris, menggema di seluruh koridor rumah sakit, aku tertunduk lesu, seperti dunia runtuh di atas kepalaku. dan lagi ini benar mimpi buruk.. sangat buruk sekali. papa terhempas lesuh di pojokan, menatap. menepuk dan menangis, mungkin ia berharap pada keajaiban “JANGAN MENYENTUH MAMA! PAPA JAAHAAAT!” aku menatap papa dan berlari menyusuri jalan. Hilir mudik kendaraan dan klakson mobil tak mampu mengalihkanku.. aku berlari entah kemana, “tuhan mengapa secepat ini kau ambil mama, mengapa tidak kau cabut saja tubuhku sekarang” aku berkali-kali menyalahkan tuhan. Aku berhenti di sebuah gereja, aku memasuki ruangan-ruangan, di seluruh koridor tampak pohon natal berkelap kelip, di depanku sebuah kayu salib mengganntung, seorang kakek yang mungkin saja pendeta duduk terdiam di sebuah kursi. Aku duduk pada sebuah kursi dari kayu, melipat tangan erat, keringat dan air mataku membasahi seluruh tubuhku, aku menutup mata “tuhan ini bukan bertama kali aku bersedih, sekarang mamaku pergi entah kemana, aku masih butuh cintanya yang kuat membimbingku di kehidupan, sebuah kecupan hangat di keningku kala aku ingin terlelap. di sini dingin sekali tuhan, di mana jiwa mamaku berada jagalah selalu.”


“Klik” aku mematikan lagu yang sedari tadi menusuk kuping ku. Air mataku tak berhenti jatuh.. mataku bengkak dan rasanya aku ingin mati. “Took… toook… tooook,” yuni ayo makan dulu sayang! Jangan buat papa merasa bersalah terus sepanjang hari.” suara ayah di balik pintu. berulang ia mengetuk aku tak pernah membukanya. Mungkin sudah 100 kali dari tadi pagi ia melakukan itu. Aku terus membolak balik foto kenangan aku dan mamaku, saat kami liburan.. saat kami menanam padi di rekreasi mekar sari dan juga foto lainnya sewaktu kecil sampai sekarang, air mataku membasahi lembaran foto, aku begitu mencintai mama, setiap aku bertengkar dengan papa sampai pipiku membiru, mamakulah yang selalu datang ke kamar memelukku erat, sampai aku bosan dan curhat panjang lebar melewati malam. Papaku seorang pria temperamental. suka sekali ia marah, aku rasa itu hoby baginya. aku dan mama selalu mengalah. aku tahu alasan kenapa mamaku tak pernah melawan, itu semua karena mamaku tak ingin pertengkaran berlanjut, karena ia mencintai papa dan aku begitu hebat. Setiap malam di saat aku tertidur, mamaku dengan tanpa izin masuk ke kamarku dan mencium pipiku sembari mengucapkan selamat malam, walau itu di tengah malam. Kuburan mama belum ada nisannya, baru beberapa hari mama pergi untuk selamanya, meninggalkan anak semata wayangnya. tak ada pesan, dan tak ada lagi perhatian. yang lebih menyakitkan ini semua gara-gara papa. ya… gara-gara papa. sekarang mama pergi baru ia bertobat, ikut mengurung diri dan kerjanya hanya membolak balik koran. Hening sekali di rumah, mungkin dia pura-pura atau ia berpikir sedikit lagi ia bisa bebas dengan tante eva, selingkuhan barunya. Aku menaruh beberapa lembar bunga di samping kuburan. keadaan begitu hening, hatiku begejolak tak menentu, Aku tak tau apa yang harus ku lakukan. aku menangis sejadi-jadinya. “mama hari ini, di sekolah aku di ledekin lagi sama teman-teman, apa ma. ma, ma.. m.. a bisa mendengarku?, kemarin aku hampir kecelakaan karena ingat mama terus, dan aku mimpi mama akan menciumku di malam dingin” kalau mama mendengar sekarang, ini yuni mah.. peluk dan cium yuni, walau sebentar saja.” Sekeras aku memohon. semampu aku bercerita tak ada jawaban. Saat aku hendak pergi, beberapa meter di belakangku papa dan nurul memperhatikan, nurul adalah teman kelasku. aku mengangap dia adalah sahabat terbaik yang pernah ku kenal, Nurul berlari mendekati, dan memeluk erat, “yuni sayang, kamu harus kuat yua, hidup ini harus di nikmati dan di jalani, kalau kamu sedih terus, aku yakin mama mu tak akan pernah tenang disana” bisikan liar nurul di ikuti pelukan erat tangan halusnya. rasanya itu memberi aku sedikit kekuatan, aku diam tak berkata, hanya mampu meresapi setiap peluhku. Papa berdiri di belakang datang dan mencoba menghapus air mataku, tapi ku tepis, papa terdiam sejenak dan melangkah pergi ke mobil yang di parkir di taman. Aku, nurul dan papa pulang dengan keadaan hening sekali, papa tak berkata sepatah katapun, dari kaca spion air matanya mengalir deras sekali, berkali-kali kosentrasi papa di alihkan padaku, kami saling menatap, mungkin papa bisa melihat kesedihanku, dan sejuta kekecewaanku trhadapnya “Teet teet teeet” bunyi kendaraan dari arah depan hampir saja mencium kami “awaaasss!” teriakan nurul membuat papa tersadar, hampir saja! Malam sebelum mama pergi. “pokoknya mama udah bosan, tiap hari begini, harus mendengar ocehanmu, semua yang ku lakukan salah di matamu!” mamaku berteriak sambil membawa barang di koper dan di cegah papa, entah kemana mama mau pergi, aku hanya dapat memandang dari sudut kaca kamar ini, “jangan kira mama bodoh ya, siapa wanita jalang itu?, di hp mu bukan fotoku dan anakmu yuni’ ta.. ta.. tapi eva, eva… dan eva… sudah 25 tahun kita lewati bersama dan ini balasannya!” mamaku berteriak tak mau mengalah. “PLAAAAAKK” “Sekali lagi kau hina eva…” berapa kali ku bilang dia hanya teman kerja, satu kantor, bosan, bosan aku mendengar semua tuduhanmu” mata papa seakan menyala, dan berlalu termenung di sofa depan tv