Jumat, 21 Februari 2014

“Klik” aku mematikan lagu yang sedari tadi menusuk kuping ku. Air mataku tak berhenti jatuh.. mataku bengkak dan rasanya aku ingin mati. “Took… toook… tooook,” yuni ayo makan dulu sayang! Jangan buat papa merasa bersalah terus sepanjang hari.” suara ayah di balik pintu. berulang ia mengetuk aku tak pernah membukanya. Mungkin sudah 100 kali dari tadi pagi ia melakukan itu. Aku terus membolak balik foto kenangan aku dan mamaku, saat kami liburan.. saat kami menanam padi di rekreasi mekar sari dan juga foto lainnya sewaktu kecil sampai sekarang, air mataku membasahi lembaran foto, aku begitu mencintai mama, setiap aku bertengkar dengan papa sampai pipiku membiru, mamakulah yang selalu datang ke kamar memelukku erat, sampai aku bosan dan curhat panjang lebar melewati malam. Papaku seorang pria temperamental. suka sekali ia marah, aku rasa itu hoby baginya. aku dan mama selalu mengalah. aku tahu alasan kenapa mamaku tak pernah melawan, itu semua karena mamaku tak ingin pertengkaran berlanjut, karena ia mencintai papa dan aku begitu hebat. Setiap malam di saat aku tertidur, mamaku dengan tanpa izin masuk ke kamarku dan mencium pipiku sembari mengucapkan selamat malam, walau itu di tengah malam. Kuburan mama belum ada nisannya, baru beberapa hari mama pergi untuk selamanya, meninggalkan anak semata wayangnya. tak ada pesan, dan tak ada lagi perhatian. yang lebih menyakitkan ini semua gara-gara papa. ya… gara-gara papa. sekarang mama pergi baru ia bertobat, ikut mengurung diri dan kerjanya hanya membolak balik koran. Hening sekali di rumah, mungkin dia pura-pura atau ia berpikir sedikit lagi ia bisa bebas dengan tante eva, selingkuhan barunya. Aku menaruh beberapa lembar bunga di samping kuburan. keadaan begitu hening, hatiku begejolak tak menentu, Aku tak tau apa yang harus ku lakukan. aku menangis sejadi-jadinya. “mama hari ini, di sekolah aku di ledekin lagi sama teman-teman, apa ma. ma, ma.. m.. a bisa mendengarku?, kemarin aku hampir kecelakaan karena ingat mama terus, dan aku mimpi mama akan menciumku di malam dingin” kalau mama mendengar sekarang, ini yuni mah.. peluk dan cium yuni, walau sebentar saja.” Sekeras aku memohon. semampu aku bercerita tak ada jawaban. Saat aku hendak pergi, beberapa meter di belakangku papa dan nurul memperhatikan, nurul adalah teman kelasku. aku mengangap dia adalah sahabat terbaik yang pernah ku kenal, Nurul berlari mendekati, dan memeluk erat, “yuni sayang, kamu harus kuat yua, hidup ini harus di nikmati dan di jalani, kalau kamu sedih terus, aku yakin mama mu tak akan pernah tenang disana” bisikan liar nurul di ikuti pelukan erat tangan halusnya. rasanya itu memberi aku sedikit kekuatan, aku diam tak berkata, hanya mampu meresapi setiap peluhku. Papa berdiri di belakang datang dan mencoba menghapus air mataku, tapi ku tepis, papa terdiam sejenak dan melangkah pergi ke mobil yang di parkir di taman. Aku, nurul dan papa pulang dengan keadaan hening sekali, papa tak berkata sepatah katapun, dari kaca spion air matanya mengalir deras sekali, berkali-kali kosentrasi papa di alihkan padaku, kami saling menatap, mungkin papa bisa melihat kesedihanku, dan sejuta kekecewaanku trhadapnya “Teet teet teeet” bunyi kendaraan dari arah depan hampir saja mencium kami “awaaasss!” teriakan nurul membuat papa tersadar, hampir saja! Malam sebelum mama pergi. “pokoknya mama udah bosan, tiap hari begini, harus mendengar ocehanmu, semua yang ku lakukan salah di matamu!” mamaku berteriak sambil membawa barang di koper dan di cegah papa, entah kemana mama mau pergi, aku hanya dapat memandang dari sudut kaca kamar ini, “jangan kira mama bodoh ya, siapa wanita jalang itu?, di hp mu bukan fotoku dan anakmu yuni’ ta.. ta.. tapi eva, eva… dan eva… sudah 25 tahun kita lewati bersama dan ini balasannya!” mamaku berteriak tak mau mengalah. “PLAAAAAKK” “Sekali lagi kau hina eva…” berapa kali ku bilang dia hanya teman kerja, satu kantor, bosan, bosan aku mendengar semua tuduhanmu” mata papa seakan menyala, dan berlalu termenung di sofa depan tv


Tidak ada komentar:

Posting Komentar